A.
KEDATANGAN JEPANG KE INDONESIA
1.
MASUKNYA JEPANG KE INDONESIA
. Pada tanggal 1 Maret 1942, sebelum matahari
terbit, Jepang mulai mendarat di tiga tempat di Pulau Jawa, yaitu di Banten,
Indramayu, dan Rembang, masing-masing dengan kekuatan lebih kurang satu divisi. Pada awalnya, misi utama pendaratan Jepang adalah mencari
bahan-bahan keperluan perang. Pendaratan ini nyatanya disambut dengan antusias
oleh rakyat Indonesia. Kedatangan Jepang memberi harapan baru bagi rakyat
Indonesia yang saat itu telah menaruh kebencian terhadap pihak Belanda. Tidak
adanya dukungan terhadap perang gerilya yang dilakukan oleh Belanda dalam
mempertahankan Pulau Jawa ikut memudahkan pendaratan tentara Jepang.
Melalui Indramayu, dengan cepat Jepang
berhasil merebut pangkalan udara Kalijati untuk dipersiapkan sebagai pangkaan
pesawat. Hingga akhirnya tanggal 9 Maret tahun Showa 17, upacara serah terima
kekuasaan dilakukan antara tentara Jepang dan Belanda di Kalijati. Sikap Jepang pada awal kedatangannya semakin menarik simpati
rakyat Indonesia. Dan kemenangan Jepang atas perang Pasifik digembor-gemborkan
sebagai kemenangan bersama, yaitu kemenangan bangsa Asia. Saat tentara Jepang
hendak mendarat di Indonesia, Pemerintah Jepang mengeluarkan slogan-slogan :
”India untuk orang India, Birma untuk orang Birma, Siam untuk orang Siam,
Indonesia untuk orang Indonesia.” Jepang juga memberikan janji kemerdekaan
“Indonesia shorai dokuritsu”, dan membiarkan bendera Indonesia dikibarkan.
Bahkan sebelum Jepang mendarat di Pulau Jawa, siaran Tokyo sering menyiarkan
lagu kebangsaan Indonesia. Tindakan lain yang dilakukan oleh Jepang adalah melakukan
pelarangan terhadap penggunaan bahasa Belanda. Sejak itulah bahasa Indonesia
ikut berkembang dengan pesat.
2.
SAMBUTAN RAKYAT INDONESIA
Kedatangan Jepang di Indonesia pada awalnya disambut
dengan senang hati oleh rakyat Indonesia. Jepang dielu-elukan sebagai “Saudara
Tua” yang dipandang dapat membebaskan bangsa Indonesia dari kekuasaan Belanda.
Sikap simpatik bangsa Indonesia terhadap Jepang antara lain juga dipengaruhi
oleh kepercayaan ramalan Jayabaya. Di mana-mana terdengar ucapan “ banzai-banza
i” (selamat datang-selamat datang). Sementara itu, pihak tentara Jepang terus
melakukan propagandapropaganda untuk terus menggerakkan dukungan rakyat
Indonesia. Setiap kali Radio Tokyo memperdengarkan Lagu Indonesia Raya, di
samping Lagu Kimigayo. Bendera yang berwarna Merah Putih juga boleh dikibarkan
berdampingan dengan Bendera Jepang Hinomaru. Melalui siaran radio, juga
dipropagandakan bahwa barang-barang buatan Jepang itu menarik dan murah
harganya, sehingga mudah bagi rakyat Indonesia untuk membelinya. Simpati dan
dukungan rakyat Indonesia itu nampaknya juga karena perilaku Jepang yang sangat
membenci Belanda. Di samping itu, diperkuat pula dengan berkembangnya
kepercayaan tentang Ramalan Jayabaya.
3
B. Organisasi Pergerakan
Masa Pendudukan jepang
Ada satu perkembangan yang berbeda apabila kita
memahami perkembangan organisasi pergerakan antara zaman colonial Belanda
dengan era pendudukan Jepang. Pada masa colonial Belanda umunya organisasi
pergerakan yang muncul dan berkembang diprakarsai oleh pejuang rakyat
Indonesia, namun pada zaman Jepang banyak organisasi atau perkumpulan yang
berdiri dan diprakarsai oleh Jepang, sementara para tokoh Indonesia mencoba
memanfaatkan organisasi tersebut untuk kepentingan perjuangan. Berikut akan
dipaparkan mengenai perkembangan organisasi pergerakan di zaman pendudukan
Jepang :
1. Organisasi
yang Bersifat Sosial Kemasyarakatan
a. Gerakan
Tiga A
Untuk
mendapatkan simpati dan dukungan dari rakyat Indonesia, Jepang membentuk sebuah
perkumpulan yang dinamakan Gerakan Tiga A yang dibentuk pada tanggal 29 Maret
1942. Perkumpulan ini memiliki tiga semboyan, yaitu Jepang Cahaya Asia, Jepang
Pelindung Asia, dan Jepang Pemimpin Asia. Gerakan ini dipimpin oleh Mr.
Syamsuddin. Namun, gerakan ini lama kelamaan kurang mendapat tanggapan dari
rakyat Indonesia. Akhirnya pada tanggal 16 April 1943, gerakan ini dibubarkan.
b.
Pusat
Tenaga Rakyat (Putera)
Setelah gagal
menjalankan propaganda Gerakan 3A, kemudian Jepang berusaha mengajak
tokoh-tokoh nasionalis untuk menggerakkan seluruh rakyat. Empat Serangkai, yang
terdiri dari Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan KH. Mas
Mansyur, dipercaya untuk memimpin gerakan tersebut. Tujuan PUTERA adalah untuk
membangun dan menghidupkan kembali segala sesuatu yang telah dihancurkan oleh
Belanda. Namun sebenarnya, gerakan ini bertujuan untuk memikat rakyat Indonesia
agar mengerahkan tenaga dan pikirannya untuk membantu jepang dalam Perang Asia
Timur Raya.
PUTERA pada awal
berdirinya mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakat. Gerakan tersebut
telah berhasil mempersiapkan rakyat secara mental bagi kemerdekaan Indonesia.
Melalui rapat-rapat dan media massa, pengaruh PUTERA semakin meluas. Hal ini
dimanfaatkan oleh pemimpin-pemimpin nasionalis untuk mempersiapkan ke arah
kemerdekaan. Hal ini tentu membuat Jepang merasa khawatir. Pada akhirnnya pada
tahun 1944 gerakan PUTERA resmi dibubarkan oleh Jepang.
c.
Majelis
Islam A’la (MIAI) dan Majelis Syura Muslimin (Masyumi)
Berbeda dengan pemerintah Belanda dulu yang
cenderung anti terhadap umat Islam, Jepang lebih ingin bersahabat dengan umat
Islam di Indonesia. Jepang memerlukan kekuatan Islam yang besar untuk membantu
melawan tentara sekutu. Oleh karena itu, pemerintah Jepang memutuskan untuk
mengaktifkan kembali organisasi MIAI yang sebelumnya telah dibekukan oleh
Belanda. Organisasi ini diketuai oleh Wondoamiseno serta dibantu oleh K.H. Mas
Mansur sebagai ketua muda dan K.H. Taufiqurrahman sebagai penasehat. Dengan
demikian, diharapkan MIAI dapat digerakkan kembali sehingga umat Islam di
Indonesia dapat dimobilisasi untuk keperluan militer. Adapun tugas dan tujuan
MIAI adalah:
·
Menempatkan umat Islam
pada kedudukan yang layak dalam masyarakat
·
Mengharmoniskan Islam
dengan tuntunan perkembangan zaman
·
Ikut membantu Jepang
dalam Perang Asia Timur Raya
Arah perkembangan MIAI ini perlahan-lahan mulai
dipahami oleh Jepang. MIAI ternyata tidak memberi kontribusi terhadap Jepang.
Hal tersebut tidak sesuai dengan harapan sehingga pada November 1943 MIAI
dibubarkan oleh Jepang. Sebagai penggantinya, Jepang membentuk MASYUMI (Majelis
Syura Muslimin Indonesia) yang diketuai oleh K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H Wahid
Hasyim sebagai wakil. Tujuan dari organisasi ini intinya hampir sama dengan
MIAI, sedangkan kegiatannya antara lain:
·
Bergerak dalam kegiatan
Baitul Mal dan Peringatan Hari Besar Islam baik di perkotaan maupun di pedesaan
·
Membentuk badan
perjuangan dengan nama Hizbullah/Tentara Allah pada tanggal 14 September 1944
di Jakarta yang diketuai oleh Zainul Arifin.
·
Bersama-sama dengan
golongan nasionalis sekuler membentuk tentara PETA (Pembela Tannah Air) pada
tanggal 3 Oktober 1944.
Masyumi kemudian semakin maju dan warna politiknya
semakin jelas. Masyumi berkembang menjadi wadah untuk bertukar pikiran antara
tokoh-tokoh Islam dan sekaligus menjadi tempat penampung keluh kesah rakyat.
Masyumi menjadi organisasi massa yang pro rakyat. Dengan demikian Masyumi telah
menjadi organisasi pejuang yang membela rakyat.
d.
Jawa
Hokokai
Pada tahun 1944, situasi mulai berbalik. Jepang yang
biasanya selalu menang dalam pertempuran, perlahan tentara Jepang mulai dapat
dikalahkan tentara Sekutu di berbagai tempat. Hal ini menyebabkan kedudukan
Jepang di Indonesia semakin mengkhawatirkan. Oleh karena itu, Jendral Kumaikici
Harada membentuk organisasi baru yang diberi nama Jawa Hokokai (Himpunan
Kebaktian Jawa). Untuk menghadapi situasi perang tersebut, Jepang membutuhkan persatuan
dan kesatuan segenap rakyat baik lahir
maupun batin. Rakyat diharapkan rela memberikan darma baktinya kepada
pemerintah Jepang demi kemenangan perang. Kebaktian yang dimaksud mencangkup
tiga hal, yaitu mengorbankan diri, mempertebal persaudaraan, dan melaksanakan
suatu tindakan dengan bukti. Susunan dan kepemimpinan organisasi Jawa Hokokai
langsung dipegang oleh orang Jepang, karena Jawa Hokokai adalah organisasi
resmi dari pemerintah. Adapun program-program kegiatan Jawa Hokokai adalah
sebagai berikut:
·
Melaksanakan segala
tindakan dengan nyata demi pemerintah Jepang
·
Memimpin rakyat untuk
mengembangkan tenaganya berdasarkan semangat persaudaraaan
·
Memperkokoh pembelaan
tanah air
2.
Organisasi
Semi Militer
a.
Organisasi
Seinendan
Seinendan (Korps Pemuda) adalah
organisasi para pemuda yang berusia 14-22 tahun yang difungsikan sebagai
barisan cadangan yang mengamankan garis belakang. Seinendan bertujuan mendidik
dan melatih para pemuda agar dapat mempertahankan tanah airnya dengan kekuatan
sendiri. Namun bagi Jepang Seinendan bertujuan untuk mendapatkan tenaga
cadangan guna memperkuat usaha mencapai kemenangan dalam Perang Asia Timur
Raya.
b.
Keibodan
Keibodan merupakan organisasi
semimiliter yang anggotanya para pemuda berusia 25-35 tahun. Ketentuan utama
untuk masuk Keiboidan adalah mereka yang berbadan sehat dan berkelakuan baik.
Pembentukan Keiboidan ini bertujuan untuk membantu tugas para polisi, seperti
menjaga lalu lintas atau pengamanan desa.
c.
Barisan
Pelopor
Pada tanggal 1 November 1944,
Jepang membentuk organisasi baru yang dinamakan dengan “Barisan Pelopor”. Barisan Pelopor adalah organisasi yang
beranggotakan para pemuda, baik terpelajar maupun yang berpendidikan rendah,
atau bahkan tidak mengenyam pendidikan sama sekali. Uniknya, pemipin dari
organisasi ini berasal dari golongan nasionalis, yaitu Ir. Soekarno, yang
dibantu oleh R.P. Suroso, Otto Iskandardinata, dan Buntaran Martoatmojo. Tujuan
Barisan Pelopor adalah menumbuhakan kesadaran yang mendalam di kalangan rakyat
untuk memenuhi kewajiban dan membangun persaudaraan untuk seluruh rakyat dalam
rangka mempertahankan tanah air Indonesia.
d.
Hizbullah
Pada tanggal 15 Desember 1944
berdiri pasukan sukarelawan pemuda Islam yang dinamakan dengan Hizbullah
(Tentara Allah) yang dalam istilah Jepang disebut dengan Kaikyo Seinen Teishinti. Hizbullah adalah pasukan cadangan dan
sukarelawan dari pemuda-pemuda Islam. Hizbullah diketuai oleh K.H. Zainul
Arifin. Rata rata anggotanya berusia 17-25 tahun. Mereka dilatih secara
kemiliteran dan dipusatkan di Cibarusa, Bogor. Tugas pokok dan tujuan
dibentuknya Hizbullah antara lain:
ü Sebagai
tentara cadangan, dengan tugas:
o Melatih
diri, jasmani, maupun rohani
o Membantu
tentara Dai Nippon
o Menjaga
bahaya udara dan mengintai mata-mata musuh
o Menggiatkan
dan menguatkan usaha-usaha untuk kepentingan perang
ü Sebagai
pemuda Islam, dengan tugas:
o Menyebarkan
agama Islam
o Memimpin
umat Islam agar taat menjalankan agama
o Membela
agama dan umat Isam Indonesia.
3.
Organisasi
Militer
Sesuai dengan strategi pemerintahan
militer Jepang yang berusaha mengerahkan rakyat Indonesia, terutama dari
kalangan pemuda, maka Jepang mulai membentuk organisasi militer untuk melatih
para pemuda. Tujuannya agar memperoleh tenaga cadangan yang cukup untuk
membantu Jepang dalam Perang Asia Timur Raya. Berikut adalah macam-macam
organisasi militer yang dibentuk Jepang:
a.
Heiho
Heiho (Pasukan Pembantu) adalah prajurit
Indonesia yang langsung ditempatkan di dalam organisasi militer Jepang, baik
Angkatan Darat maupun Angkatan Laut. Syarat-syarat untuk menjadi tentara Heiho
antara lain yaitu berumur 18-25 tahun, berbadan sehat, berkelakuan baik, dan
berpendidikan minimal sekolah dasar. Heiho merupakan pasukan yang terintegrasi
dengan pasukan militer Jepang, baik angkatan darat, angkatan laut, termasuk
kepolisian. Meskipun Heiho terintegrasi dengan militer Jepang, tidak seorangpun
anggota Heiho dari pemuda Indonesia yang berpangkat perwira. Pangkat perwira
hanya untuk militer Jepang. Tujuan Heiho adalah membantu tentara Jepang secara
langsung dalam Perang Asia Timur Raya, baik di Indonesia maupun di luar
Indonesia. Kegiatannya antara lain: membangun kubu-kubu pertahanan, menjaga
kamp tahanan, dan membantu perang tentara Jepang di medan perang. Oleh karena
itu, banyak anggota Heiho yang ikut perang melawan tentara Sekutu di
Kalimantan, Papua, bahkan sampai ke Birma.
b.
Pembela
Tanah Air (PETA)
Keinginan Jepang untuk melindungi
Indonesia dari tentara Sekutu dengan dibantu pasukan Heiho ternyata masih
kurang memadai. Jepang berusaha agar ada pasukan yang secara konkret mempertahankan
Indonesia. Oleh karena itu, Jepang berencana membentuk pasukan militer lain
untuk mempertahankan tanah air Indonesia. Akhirnya, pada tanggal 3 Oktober 1943
secara resmi dibentuklah PETA. Berdirinya PETA ternyata disambut hangat oleh
kalangan pemuda Indonesia. PETA merupakan pasukan yang berdiri sendiri lepas
dari struktur militer Jepang. Tujuannya adalah untuk membela dan mempertahankan
Indonesia dari serangan Sekutu.
C.
PENGERAHAN DAN PENINDASAN VERSUS PERLAWANAN
1. Ekonomi
Perang
Selama masa pendudukan Jepang di
Indonesia, diterapkan konsep “Ekonomi perang”. Artinya, semua kekuatan ekonomi
di Indonesia digali untuk menopang kegiatan perang. Dalam bidang ekonomi,
Indonesia sangat menarik bagi Jepang Kekayaan Indonesia sangat cocok untuk kepentingan
industri Jepang. Indonesia juga dirancang sebagai tempat penjualan
produk-produk industrinya. pada saat berkobarnya PD II, Indonesia benar-benar
menjadi sasaran perluasan pengaruh kekuasaan Jepang. Bahkan, Indonesia kemudian
menjadi salah satu benteng pertahanan Jepang untuk membendung gerak laju
kekuatan tentara Serikat dan melawan kekuatan Belanda. Setelah berhasil
menguasai Indonesia, Jepang mengambil kebijakan dalam bidang ekonomi yang
sering disebut self help. Hasil perekonomian di Indonesia dijadikan modal untuk
mencukupi kebutuhan pemerintahan Jepang yang sedang berkuasa di Indonesia. Dalam rangka mengendalikan kebijakan di
bidang ekonomi, maka semua objek vital dan alat-alat produksi dikuasai oleh
Jepang dan di bawah pengawasan yang sangat ketat. Pemerintah Jepang juga
mengeluarkan peraturan untuk menjalankan perekonomian di bidang perkebunan.
Perkebunan-perkebunan diawasi dan dipegang sepenuhnya oleh pemerintah Jepang.
Banyak perkebunan yang dirusak dan diganti dengan tanaman yang sesuai untuk
keperluan biaya perang. Rakyat dilarang menanam tebu dan membuat gula. Beberapa
perusahaan swasta Jepang yang menangani pabrik gula adalah Meiji Seito Kaisya.
Akibat kebijakan Jepang ini, tingkat kesejahteraan bangsa Indonesia terus
merosot. Dengan diterapkannya kebijakan ekonomi perang itu, ekonomi uang yang
pernah dikembangkan masa pemerintahan Hindia Belanda tidak begitu populer.
Bahkan bank-bank yang pernah dikembangkan pemerintah Hindia Belanda
dilikuidasi. Semua aset bank disita. Selanjutnya, pada bulan April 1942,
diumumkan suatu banking-moratorium tentang adanya penangguhan pembayaran
kewajiban-kewajiban bank. Beberapa bulan kemudian, pimpinan tentara Jepang
untuk Pulau Jawa, yang berada di Jakarta, mengeluarkan ordonansi berupa
perintah likuidasi untuk seluruh bank Belanda, Inggris, dan beberapa bank Cina.
Ordonansi serupa juga dikeluarkan oleh komando militer Jepang di Singapura
untuk bank-bank di Sumatera, sedangkan kewenangan likuidasi bank-bank di
Kalimantan dan Great East diberikan kepada Navy Ministry di Tokyo. Fungsi dan
tugas bank-bank yang dilikuidasi tersebut, kemudian diambil alih oleh bank-bank
Jepang, seperti Yokohama Specie Bank, Taiwan Bank, dan Mitsui Bank, yang pernah
ada sebelumnya dan ditutup oleh Belanda ketika mulai pecah perang. Sebagai bank
sirkulasi di Pulau Jawa, Javache Bank dilikuidasi dibentuklah Nanpo Kaihatsu
Ginko yang melanjutkan tugas tentara pendudukan Jepang dalam mengedarkan
invansion money yang dicetak di Jepang dalam tujuh denominasi, mulai dari satu
hingga sepuluh gulden.Uang Belanda kemudian digantikan oleh uang Jepang.
2. Pengendalian
di Bidang Pendidikan dan Kebudayaan
Pemerintah Jepang mulai membatasi
kegiatan pendidikan. Jumlah sekolah juga dikurangi secara drastis. Jumlah
sekolah dasar menurun dari 21.500 menjadi 13.500 buah. Sekolah lanjutan menurun
dari 850 menjadi 20 buah. Kegiatan perguruan tinggi boleh dikatakan macet.
Jumlah murid sekolah dasar menurun 30% dan jumlah siswa sekolah lanjutan
merosot sampai 90%. Begitu juga tenaga pengajarnya mengalami penurunan secara
signifikan. Muatan kurikulum yang diajarkan juga dibatasi. Mata pelajaran
bahasa Indonesia dijadikan mata pelajaran utama, sekaligus sebagai bahasa
pengantar. Kemudian, bahasa Jepang menjadi mata pelajaran wajib di sekolah.
kondisi pendidikan di Indonesia pada masa pendudukan Jepang mengalami
kemunduran. Kemunduran pendidikan itu juga berkaitan dengan kebijakan
pemerintah Jepang yang lebih berorientasi pada kemiliteran untuk kepentingan
pertahanan Indonesia dibandingkan pendidikan. Banyak anak usia sekolah yang
harus masuk organisasi semimiliter sehingga banyak anak yang meninggalkan
bangku sekolah. Bagi Jepang, pelaksanaan pendidikan bagi rakyat Indonesia bukan
untuk membuat pandai, tetapi dalam rangka untuk pembentukan kaderkader yang
memelopori program Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Oleh karena itu, sekolah
selalu menjadi tempat indoktrinasi kejepangan.
3. Pengerahan
Romusa
Untuk menopang Perang Asia Timur Raya,
Jepang mengerahkan semua tenaga kerja dari Indonesia. Tenaga kerja inilah yang
kemudian kita kenal dengan romusa. Mereka dipekerjakan di lingkungan terbuka,
misalnya di lingkungan pembangunan kubu-kubu pertahanan, jalan raya, lapangan
udara. Pada awalnya, tenaga kerja dikerahkan di Pulau Jawa yang padat
penduduknya, kemudian di kota-kota dibentuk barisan romusa sebagai sarana
propaganda. Desa-desa diwajibkan untuk menyiapkan sejumlah tenaga romusa.
Panitia pengerahan tersebut disebut Romukyokai, yang ada di setiap
daerah. Rakyat yang dijadikan romusa pada umumnya adalah rakyat yang bertenaga
kasar. Pada awalnya, rakyat Indonesia melakukan tugas romusa secara sukarela,
sehingga Jepang tidak mengalami kesulitan untuk memperoleh tenaga. Sebab,
rakyat sangat tertarik dengan propaganda tentara Jepang sehingga rakyat rela
membantu untuk bekerja apa saja tanpa digaji. Oleh karena itu, di beberapa kota
pernah terdapat beberapa romusa yang sifatnya sementara dan sukarela. Romusa
sukarela terdiri atas para pegawai yang bekerja (tidak digaji) selama satu
minggu di suatu tempat yang penting. Rakyat Indonesia yang menjadi romusa itu
diperlakukan dengan tidak senonoh, tanpa mengenal perikemanusiaan. Mereka
dipaksa bekerja sejak pagi hari sampai petang, tanpa makan dan pelayanan yang
cukup mereka hanya dapat beristirahat pada malam hari. Kesehatan mereka tidak
terurus mereka jatuh sakit bahkan mati kelaparan. Untuk menutupi kekejamannya
dan agar rakyat merasa tidak dirugikan, sejak tahun 1943, Jepang melancarkan
kampanye dan propaganda untuk menarik rakyat agar mau berangkat bekerja sebagai
romusa. Untuk mengambil hati rakyat, Jepang memberi julukan mereka yang menjadi
romusa itu sebagai “Pejuang Ekonomi” atau “Pahlawan Pekerja”. Para romusa itu
diibaratkan sebagai orang-orang yang sedang menunaikan tugas sucinya untuk
memenangkan perang dalam Perang Asia Timur Raya. Pada periode itu sudah sekitar
300.000 tenaga romusa dikirim ke luar Jawa. Bahkan sampai ke luar negeri
seperti ke Birma, Muangthai, Vietnam, Serawak, dan Malaya. Sebagian besar dari
mereka ada yang kembali ke daerah asal, ada yang tetap tinggal di tempat kerja,
tetapi kebanyakan mereka mati di tempat kerja.
4. Perang
Melawan Sang Tirani
a. Aceh
Angkat Senjata
Perlawananan rakyat yang terjadi di Cot
Plieng yang dipimpin oleh Abdul Jalil.
Karena melihat kekejaman dan kesewenangan pemerintah pendudukan Jepang,
terutama terhadap romusa, maka rakyat Cot Plieng melancarkan perlawanan. Abdul
Jalil memimpin rakyat Cot Plieng untuk melawan tindak penindasan dan kekejaman
yang dilakukan pendudukan Jepang. Di Lhokseumawe, Abdul Jalil berhasil menggerakkan
rakyat dan para santri di sekitar Cot Plieng. Gerakan Abdul Jalil ini di mata
Jepang dianggap sebagai tindakan yang sangat membahayakan. Oleh karena itu,
Jepang berusaha membujuk Abdul Jalil untuk berdamai. Namun, Abdul Jalil
bergeming dengan ajakan damai itu. Karena Abdul Jalil menolak jalan damai, pada
tanggal 10 November 1942, Jepang mengerahkan pasukannya untuk menyerang Cot
Plieng. Kemudian, pertempuran berlanjut hingga pada tanggal 24 November 1942,
Jepang membakar masjid. Banyak rakyat pengikut Abdul Jalil yang terbunuh. Dalam
pertempuran ini, rakyat yang gugur sebanyak 120 orang dan 150 orang luka-luka,
sedangkan Jepang kehilangan 90 orang prajuritnya. Kebencian rakyat Aceh
terhadap Jepang semakin meluas sehingga muncul perlawanan di Jangka Buyadi
bawah pimpinan perwira Gyugun Abdul Hamid. Dalam situasi perang yang meluas ke
berbagai tempat, Jepang mencari cara yang efektif untuk menghentikan perlawanan
Abdul Hamid. Jepang menangkap dan menyandera semua anggota keluarga Abdul
Hamid. Dengan berat hati akhirnya Abdul Hamid mengakhiri perlawanannya.
Berikutnya perlawanan rakyat berkobar di Pandrah Kabupaten Bireuen. Perlawanan
disebabkan oleh masalah penyetoran padi dan pengerahan tenaga romusa. Di
samping itu, Jepang menancapi bambu runcing di sawah-sawah dengan maksud agar
tidak dapat digunakan Sekutu untuk mendaratkan pasukan payungnya. Tindakan
Jepang itu sangat merugikan rakyat.
b. Perlawanan
Singaparna
Perlawanan ini meletus pada bulan
Februari, 1944. Perlawanan dipimpin oleh Kiai Zainal Mustafa, seorang ajengan
di Sukamanah sekaligus pendiri Pesantren Sukamanah. Zainal Mustafa secara
diam-diam telah membentuk “Pasukan Tempur Sukamanah” yang dipimpin oleh ajengan
Najminudin. Kiai Zainal Mustafa memulai pertempuran pada salah satu hari Jumat
di bulan Februari 1944. Sebelum perang itu dimulai, ada beberapa utusan dari
kepolisian Tasikmalaya dan beberapa orang Indonesia yang ingin mengadakan
perundingan dengan Zainal Mustafa. Namun, polisi Jepang itu dilucuti senjatanya
dan ditahan oleh pengikut Zainal Mustafa. Kemudian ada seorang polisi yang
disuruh kembali ke Tasikmalaya untuk melaporkan yang baru saja terjadi dan
menyampaikan ultimatum dari Kiai Zainal Mustafa kepada pihak Jepang agar besok
segera memerdekakan Jawa dan jika tidak,
maka akan terjadi pertempuran yang akan mengancam keselamatan orangorang
Jepang. Para utusan Jepang bersikap congkak dan sombong untuk menunjukkan bahwa
Jepang memiliki kedudukan yang lebih tinggi dan lebih kuat. Hal ini menyulut
kemarahan pengikut Zainal Mustafa, sehingga utusan Jepang itu pun dilucuti
senjatanya dan ditangkap bahkan ada yang dibunuh, sementara ada juga yang
berhasil melarikan diri. Setelah kejadian ini, Jepang mengirimkan pasukan ke
Sukamanah, yang terdiri dari 30 orang kempetai dan 60 orang polisi negara
istimewa (tokubetsu keisatsu) dari Tasikmalaya dan Garut. Pertempuran terjadi
lebih kurang satu jam di kampung Sukamanah. Pihak rakyat menyerang dengan
mempergunakan pedang dan bambu runcing yang diikuti dengan teriakan takbir.
Zainal Mustafa dengan pengikutnya bertempur mati-matian untuk menghadapi
gempuran dari pihak Jepang. Karena jumlah pasukan yang lebih besar dan
peralatan senjata yang lebih lengkap, tentara Jepang berhasil mengalahkan
pasukan Zainal Mustafa. Dalam pertempuran ini banyak berguguran para pejuang
Indonesia. Kiai Zainal Mustafa ditangkap Jepang bersama gurunya Kiai Emar.
Selanjutnya Kiai Zainal Mustafa bersama 27 orang pengikutnya diangkut ke
Jakarta. Pada tanggal 25 Oktober 1944, mereka dihukum mati. Sementara Kiai Emar
disiksa oleh polisi Jepang dan akhirnya meninggal.
c. Perlawanan
di Indramayu
Perlawanan rakyat Indramayu antara lain terjadi di
Desa Kaplongan, Distrik Karangampel pada bulan April 1944. Kemudian pada bulan
Juli, muncul pula perlawanan rakyat di Desa Cidempet, Kecamatan Lohbener.
Perlawanan tersebut terjadi karena rakyat merasa tertindas dengan adanya
kebijakan penarikan hasil padi yang sangat memberatkan. Rakyat yang baru saja
memanen padinya harus langsung dibawa ke balai desa. Setelah itu, pemilik
mengajukan permohonan kembali untuk mendapat sebagian padi hasil panennya.
Rakyat tidak dapat menerima cara-cara Jepang yang demikian. Rakyat protes dan
melawan. Mereka bersemboyan “lebih baik mati melawan Jepang daripada mati
kelaparan”. Setelah kejadian tersebut, maka terjadilah perlawanan yang
dilancarkan oleh rakyat.
d. Rakyat
Kalimantan Angkat Senjata
Perlawanan di Kalimantan adalah
perlawanan yang dipimpin oleh Pang Suma, seorang pemimpin Suku Dayak. Pemimpin
Suku Dayak ini memiliki pengaruh yang luas di kalangan orang-orang atau
suku-suku dari daerah Tayan, Meliau, dan sekitarnya. Pang Suma dan pengikutnya
melancarkan perlawanan terhadap Jepang dengan taktik perang gerilya. Walaupun
hanya berjumlah sedikit, tetapi dengan bantuan rakyat yang militan dan dengan
memanfaatkan keuntungan alam namun di
kalangan penduduk juga berkeliaran para mata-mata Jepang yang berasal dari
orang-orang Indonesia sendiri. Matamata inilah yang sering membuat perlawanan
para pejuang Indonesia dapat dikalahkan oleh penjajah. Demikian juga perlawanan
rakyat yang dipimpin Pang Suma di Kalimantan ini akhirnya mengalami kegagalan.
e. Perlawanan
Rakyat Irian Barat
Pada masa pendudukan Jepang, penderitaan
juga dialami oleh rakyat di Irian Barat. Mereka mendapat pukulan dan
penganiayaan yang sering di luar batas kemanusiaan.Mereka melakukan taktik
perang gerilya. Akhirnya, Jepang tidak mampu bertahan menghadapi para pejuang
Irian tersebut. Jepang akhirnya meninggalkan Biak. Oleh karena itu, dapat
dikatakan Pulau Biak ini merupakan daerah bebas dan merdeka yang pertama di
Indonesia. Ternyata perlawanan di tanah Irian ini juga meluas ke berbagai
daerah, dari Biak kemudian ke Yapen Selatan. Salah seorang pemimpin perlawanan
di daerah ini adalah Silas Papare. Perlawanan di daerah ini berlangsung sangat
lama bahkan sampai kemudian tentara Jepang dikalahkan Sekutu. Setelah berjuang
bergerilya dalam waktu yang sangat lama, rakyat Yape Selatan mendapatkan
bantuan senjata dari Sekutu, bantuan senjata itu membantu rakyat Yape Selatan
untuk mengalahkan Jepang. Hal tersebut menunjukkan bagaimana keuletan rakyat
Irian dalam menghadapi kekejaman pendudukan Jepang.
f. Peta
di Blitar Angkat Senjata
Sebagai komandan Peta, Supriyadi cukup memahami
bagaimana penderitaan rakyat akibat penindasan yang dilakukan Jepang.
Penderitaan rakyat itulah yang menimbulkan rencana para anggota Peta di Blitar
untuk melancarkan perlawanan terhadap pendudukan Jepang. Perlawanan peta
melibatkan rakyat dan beberapa kesatuan lain. Pada tanggal 29 Februari 1945
dini hari, Supriyadi dengan teman-temannya mulai bergerak. Mereka melepaskan
tembakan mortir, senapan mesin, dan granat dari daidan, lalu keluar dengan
bersenjata lengkap. Setelah pihak Jepang mengetahui adanya gerakan penyerbuan
itu, mereka segera mendatangkan pasukan yang semuanya orang Jepang. Pasukan
Jepang juga dipersenjatai dengan beberapa tank dan pesawat udara. Tentara
Jepang mulai menguasai keadaan dan seluruh kota Blitar mulai dapat dikuasai.
Jepang mulai menggunakan tipu muslihat. Komandan pasukan Jepang Kolonel
Katagiri berpura-pura menyerah kepada pasukan Muradi. Kolonel Katagiri kemudian
bertukar pikiran dengan anggota pasukan Peta dengan lemah lembut, penuh
kesantunan, sehingga hati para pemuda yang telah memuncak panas itu bisa
membalik menjadi dingin kembali. Kolonel Katagiri berhasil mengadakan
persetujuan dengan mereka. Para pemuda Peta yang melancarkan serangan bersedia
kembali ke daidan beserta senjata-senjatanya. Katagiri menjanjikan, bahwa
segala sesuatu akan dianggap soal interen daidan, dan akan diurus oleh Daidanco
Surakhmad. Mereka akan diterima kembali dan tidak akan dibawa ke depan
pengadila militer. Dengan hasil kesepakatan itu, maka pada suatu hari kira-kira
pukul delapan malam Shodanco Muradi tiba bersama pasukannya kembali ke daidan.
Sejenak kemudian Shodanco Muradi lapor kepada Daidanco Surakhmad, bahwa
pasukannya telah kembali. Mereka juga menyatakan menyesal atas perbuatan
melawan Jepang dan berjanji untuk setia kepada kesatuannya. Mereka tidak
menyadari bahwa telah masuk perangkap, karena dari tempat-tempat yang gelap pasukan
Jepang telah mengepung mereka. Mereka kemudian dilucuti senjatanya dan ditawan,
diangkut ke Markas Kempetai Blitar. Ternyata Muradi yang sudah menyerah tetap
diadili dan dijatuhi hukuman mati.
D.DRAMA AKHIR SANG
TIRANI
1. Akibat Pendudukan Jepang di Indonesia
Pendudukan Jepang di Indonesia membawa dampak pada kehidupan masyarakat Indonesia, baik di bidang politik, ekonomi, sosial-budaya, pendidikan maupun di bidang birokrasi dan militer.
a. Bidang Politik
Dalam bidang politik, Jepang melakukan kebijakan dengan melarang penggunaan bahasa Belanda dan mewajibkan penggunaan bahasa Jepang. Struktur pemerintahan dibuat sesuai dengan keinginan Jepang, misalnya desa dengan Ku, kecamatan dengan So, kawedanan dengan Gun, kotapraja dengan Syi, kabupaten dengan Ken, dan karesidenan dengan Syu. Setiap upacara bendera dilakukan penghormatan kearah Tokyo dengan membungkukkan badan 90 derajat yang ditujukan pada Kaisar Jepang Tenno Heika.
Jepang juga membentuk pemerintahan militer dengan angkatan darat dan angkatan laut. Angkatan darat yang meliputi Jawa-Madura berpusat di Batavia. Sementara itu di Sumatra berpusat di Bukittinggi, angkatan lautnya membawahi Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian, sebagai pusatnya di Ujungpandang. Pemerintahan itu berada dibawah pimpinan Panglima Tertinggi Jepang untuk Asia Tenggara yang berkedudukan di Dalat (Vietnam).
Jepang juga membentuk organisasi-organisasi dengan maksud sebagai alat propaganda, seperti Gerakan Tiga A dan Putera, tetapi gerakan tersebut gagal dan dimanfaatkan oleh kaum pergerakan sebagai wadah untuk pergerakan nasional. Tujuan utama pemerintah Jepang adalah menghapuskan pengaruh Barat dan menggalang masyarakat agar memihak Jepang. Pemerintah Jepang juga menjanjikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia yang diucapkan oleh Perdana Menteri Tojo dalam kunjungannya ke Indonesia pada September 1943. Kebijakan politik Jepang yang sangat keras itu membangkitkan semangat perjuangan rakyat Indonesia terutama kaum nasionalis untuk segera mewujudkan cita-cita mereka, yaitu Indonesia merdeka.
b. Keadaan Sosial-Budaya dan Ekonomi
Guna membiayai Perang Pasifik, Jepang mengerahkan semua tenaga kerja dari Indonesia. Mereka dikerahkan untuk membuat benteng-benteng pertahanan. Mula-mula tenaga kerja dikerahkan dari Pulau Jawa yang padat penduduknya. Kemudian di kota-kota dibentuk barisan romusa sebagai sarana propaganda. Propaganda yang kuat itu menarik pemuda-pemuda untuk bergabung dengan sukarela. Pengerahan tenaga kerja yang mulanya sukarela lama-lama menjadi paksaan. Desa-desa diwajibkan untuk menyiapkan sejumlah tenaga romusa. Panitia pengerahan disebut dengan Romukyokai, yang ada disetiap daerah.
Para pekerja romusa itu diperlakukan dengan kasar dan kejam. Mereka tidak dijamin kehidupannya, kesehatan dan makan tidak diperhatikan. Banyak pekerja romusa yang jatuh sakit dan meninggal. Untuk mengembalikan citranya, Jepang mengadakan propaganda dengan menyebut pekerja romusa sebagai “pahlawan pekerja” atau “prajurit ekonomi”. Mereka digambarkan sebagai sosok yang suci dalam menjalankan tugasnya. Para pekerja romusa itu juga dikirim ke Birma, Muangthai, Vietnam, Serawak, dan Malaya.
Saat itu kondisi masyarakat menyedihkan. Bahan makanan sulit didapat akibat banyak petani yang menjadi pekerja romusa. Gelandangan di kota-kota besar seperti Surabaya, Jakarta, Bandung, dan Semarang jumlahnya semakin meningkat. Tidak jarang mereka mati kelaparan di jalanan atau di bawah jembatan. Penyakit kudis menjangkiti masyarakat. Pasar gelap tumbuh di kota-kota besar. Barang-barang keperluan sulit didapatkan dan semakin sedikit jumlahnya. Uang yang dikeluarkan Jepang tidak ada jaminannya, bahkan mengalami inflasi yang parah. Bahan-bahan pakaian sulit didapatkan, bahkan masyarakat menggunakan karung goni sebagai bahan pakaian mereka. Obat-obatan juga sangat sulit didapatkan.
Semua objek vital dan alat-alat produksi dikuasai dan diawasi sangat ketat oleh Pemerintah Jepang mengeluarkan peraturan untuk menjalankan perekonomian. Perkebunan-perkebunan diawasi dan dipegang sepenuhnya oleh pemerintah Jepang. Banyak perkebunan yang dirusak dan diganti tanamannya untuk keperluan biaya perang. Rakyat dilarang menanam tebu dan membuat gula. Beberapa perusahaan swasta Jepang yang menangani pabrik gula adalah Meiji Seito Kaisya.
Masyarakat juga diwajibkan untuk melakukan pekerjaan yang dinilai berguna bagi masyarakat luas, seperti memperbaiki jalan, saluran air, atau menanam pohon jarak. Mereka melakukannya secara bergantian. Untuk menjalankan tugas tersebut dengan baik, maka dibentuklah tonarigumi (rukun tetangga) untuk memobilisasi massa dengan efektif.
Sementara itu, proses komunikasi antarkomponen bangsa di Indonesia mengalami kesulitan baik komunikasi antarpulau maupun komunikasi dengan dunia luar, karena semua saluran komunikasi dikendalikan oleh Jepang. Semua nama-nama kota yang menggunakan bahasa Belanda diganti dengan Bahasa Indonesia, seperti Batavia menjadi Jakarta dan Buitenzorg menjadi Bogor. Sementara itu, untuk mengawasi karya para seniman agar tidak menyimpang dari tujuan Jepang, maka didirikanlah pusat kebudayaan pada tanggal 1 April 1943 di Jakarta, yang bernama Keimun Bunka Shidosho.
c. Pendidikan
Pada masa pendudukan Jepang, keadaan pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Pendidikan tingkat dasar hanya satu, yaitu pendidikan enam tahun. Hal itu sebagai politik Jepang untuk memudahkan pengawasan. Para pelajar wajib mempelajari bahasa Jepang. Mereka juga harus mempelajari adat istiadat Jepang dan lagu kebangsaan Jepang, Kimigayo, serta gerak badan sebelum pelajaran dimulai. Bahasa Indonesia mulai digunakan sebagai bahasa pengantar di semua sekolah dan dianggap sebagai mata pelajaran wajib.
Sementara itu, perguruan tinggi di tutup pada tahun 1943. Beberapa perguruan tinggi yang dibuka lagi adalah Perguruan Tinggi Kedokteran (Ika Daigaku) di Jakarta dan Perguruan Tinggi Teknik (Kogyo Daigaku) di Bandung. Jepang juga membuka Akademi Pamong Praja (Konkoku Gakuin) di Jakarta, serta Perguruan Tinggi Hewan di Bogor. Pada saat itu, perkembangan perguruan tinggi benar-benar mengalami kemunduran.
Satu hal keuntungan pada masa Jepang adalah penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Melalui sekolah-sekolah itulah Jepang melakukan indoktrinasasi. Menurut Jepang, pendidikan kader-kader dibentuk untuk memelopori dan melaksanakan konsepsi kemakmuran Asia Raya. Namun, bagi bangsa Indonesia tugas berat itu merupakan persiapan bagi pemuda-pemuda terpelajar untuk mencapai kemerdekaan.
Para pelajar juga dianjurkan untuk masuk militer. Mereka diajarkan Heiho atau sebagai pembantu prajurit. Pemuda-pemuda juga dianjurkan masuk barisan Seinendan dan Keibodan (pembantu polisi). Mereka dilatih baris berbaris dan perang meskipun hanya bersenjatakan kayu. Dalam Seinendan mereka dijadikan barisan pelopor atau suisintai. Barisan pelopor itu mendapat pelatihan yang berat. Latihan militer itu kelak sangat berguna bagi bangsa kita.
d. Birokrasi dan Militer
Dalam bidang birokrasi, dengan dikeluarkannya UU no. 27 tentang Aturan Pemerintah Daerah dan UU No. 28 tentang Aturan Pemerintah Syu dan Tokubetshu Syi, maka berakhirlah pemerintahan sementara. Kedua aturan itu merupakan pelaksanaan struktur pemerintahan dengan datangnya tenaga sipil dari Jepang di Jawa. Mereka ditempatkan di Jawa untuk melakukan tujuan reorganisasi pemerintahan Jepang, yang menjadikan Jawa sebagai pusat perbekalan perang di wilayah selatan.
Sesuai dengan undang-undang itu, seluruh kota di Jawa dan Madura, kecuali Solo dan Yogyakarta, dibagi atas syu, syi, ken, gun, son, dan ku. Pembentukan provinsi yang dilakukan Belanda diganti dan disesuaikan dengan struktur Jepang, daerah pemerintahan yang tertinggi, yaitu Syu. Meskipun luas wilayah Syu sebesar keresidenan, namun fungsinya berbeda. Apabila residen merupakan pembantu gubernur, maka Syu adalah pemerintah otonomi di bawah shucokan yang berkedudukan sama dengan gubernur. Pada masa pendudukan Jepang juga dibentuk Chou Sangi- in yang fungsinya tidak jauh berbeda dengan Volksraad. Dalam Volksraad masih dapat dilakukan kritik pemerintah dengan bebas. Sementara Chou Sangi In tidak dapat melakukan hal itu.
Perbedaan antara masa penjajahan sebelumnya dengan masa pendudukan Jepang yaitu rakyat Indonesia mendapatkan manfaat pengalaman dan bidang ketentaraan, bidang pertahanan, dan keamanan. Mereka mendapat kesempatan untuk berlatih militer. Mulai dari dasar-dasar militer, baris berbaris, latihan menggunakan senjata, hingga organisasi militer, dan latihan perang. Melalui propagandanya, Jepang berhasil membujuk penduduk untuk menghadapi Sekutu. Oleh karena itulah, mereka melatih penduduk dengan latihan-latihan militer. Bekas pasukan Peta itulah yang menjadi kekuatan inti Badan Keamanan Rakyat (BKR), yang menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan sekarang dikenal dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI).
2. Janji Kemerdekaan
Pada tahun 1944, Jepang terdesak, Angkatan Laut Amerika Serikat berhasilmerebut kedudukan penting Kepulauan Mariana, sehingga jalan menuju Jepang semakin terbuka. Jenderal Hideki Tojo pun kemudian digantikan oleh Jenderal Kuniaki Kaiso sebagai perdana menteri. Angkatan udara Sekutu yang di Morotai pun mulai mengadakan pengeboman atas kedudukan Jepang di Indonesia. Rakyat mulai kehilangan kepercayaannya terhadap Jepang dalam melawan Sekutu.
Sementara itu, Jenderal Kuniaki Kaiso memberikan janji kemerdekaan (September 1944). Sejak itulah Jepang memberikan izin kepada rakyat Indonesia untuk mengibarkan bendera Merah Putih di samping bendera Jepang Hinomaru. Lagu Indonesia Raya boleh dinyanyikan setelah lagu Kimigayo. Sejak itu pula Jepang mulai mengerahkan tenaga rakyat Indonesia untuk pertahanan. Mereka disiapkan untuk menghadapi musuh. Pada saat itu suasana kemerdekaan terasa semakin dekat.
Pendudukan Jepang di Indonesia membawa dampak pada kehidupan masyarakat Indonesia, baik di bidang politik, ekonomi, sosial-budaya, pendidikan maupun di bidang birokrasi dan militer.
a. Bidang Politik
Dalam bidang politik, Jepang melakukan kebijakan dengan melarang penggunaan bahasa Belanda dan mewajibkan penggunaan bahasa Jepang. Struktur pemerintahan dibuat sesuai dengan keinginan Jepang, misalnya desa dengan Ku, kecamatan dengan So, kawedanan dengan Gun, kotapraja dengan Syi, kabupaten dengan Ken, dan karesidenan dengan Syu. Setiap upacara bendera dilakukan penghormatan kearah Tokyo dengan membungkukkan badan 90 derajat yang ditujukan pada Kaisar Jepang Tenno Heika.
Jepang juga membentuk pemerintahan militer dengan angkatan darat dan angkatan laut. Angkatan darat yang meliputi Jawa-Madura berpusat di Batavia. Sementara itu di Sumatra berpusat di Bukittinggi, angkatan lautnya membawahi Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian, sebagai pusatnya di Ujungpandang. Pemerintahan itu berada dibawah pimpinan Panglima Tertinggi Jepang untuk Asia Tenggara yang berkedudukan di Dalat (Vietnam).
Jepang juga membentuk organisasi-organisasi dengan maksud sebagai alat propaganda, seperti Gerakan Tiga A dan Putera, tetapi gerakan tersebut gagal dan dimanfaatkan oleh kaum pergerakan sebagai wadah untuk pergerakan nasional. Tujuan utama pemerintah Jepang adalah menghapuskan pengaruh Barat dan menggalang masyarakat agar memihak Jepang. Pemerintah Jepang juga menjanjikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia yang diucapkan oleh Perdana Menteri Tojo dalam kunjungannya ke Indonesia pada September 1943. Kebijakan politik Jepang yang sangat keras itu membangkitkan semangat perjuangan rakyat Indonesia terutama kaum nasionalis untuk segera mewujudkan cita-cita mereka, yaitu Indonesia merdeka.
b. Keadaan Sosial-Budaya dan Ekonomi
Guna membiayai Perang Pasifik, Jepang mengerahkan semua tenaga kerja dari Indonesia. Mereka dikerahkan untuk membuat benteng-benteng pertahanan. Mula-mula tenaga kerja dikerahkan dari Pulau Jawa yang padat penduduknya. Kemudian di kota-kota dibentuk barisan romusa sebagai sarana propaganda. Propaganda yang kuat itu menarik pemuda-pemuda untuk bergabung dengan sukarela. Pengerahan tenaga kerja yang mulanya sukarela lama-lama menjadi paksaan. Desa-desa diwajibkan untuk menyiapkan sejumlah tenaga romusa. Panitia pengerahan disebut dengan Romukyokai, yang ada disetiap daerah.
Para pekerja romusa itu diperlakukan dengan kasar dan kejam. Mereka tidak dijamin kehidupannya, kesehatan dan makan tidak diperhatikan. Banyak pekerja romusa yang jatuh sakit dan meninggal. Untuk mengembalikan citranya, Jepang mengadakan propaganda dengan menyebut pekerja romusa sebagai “pahlawan pekerja” atau “prajurit ekonomi”. Mereka digambarkan sebagai sosok yang suci dalam menjalankan tugasnya. Para pekerja romusa itu juga dikirim ke Birma, Muangthai, Vietnam, Serawak, dan Malaya.
Saat itu kondisi masyarakat menyedihkan. Bahan makanan sulit didapat akibat banyak petani yang menjadi pekerja romusa. Gelandangan di kota-kota besar seperti Surabaya, Jakarta, Bandung, dan Semarang jumlahnya semakin meningkat. Tidak jarang mereka mati kelaparan di jalanan atau di bawah jembatan. Penyakit kudis menjangkiti masyarakat. Pasar gelap tumbuh di kota-kota besar. Barang-barang keperluan sulit didapatkan dan semakin sedikit jumlahnya. Uang yang dikeluarkan Jepang tidak ada jaminannya, bahkan mengalami inflasi yang parah. Bahan-bahan pakaian sulit didapatkan, bahkan masyarakat menggunakan karung goni sebagai bahan pakaian mereka. Obat-obatan juga sangat sulit didapatkan.
Semua objek vital dan alat-alat produksi dikuasai dan diawasi sangat ketat oleh Pemerintah Jepang mengeluarkan peraturan untuk menjalankan perekonomian. Perkebunan-perkebunan diawasi dan dipegang sepenuhnya oleh pemerintah Jepang. Banyak perkebunan yang dirusak dan diganti tanamannya untuk keperluan biaya perang. Rakyat dilarang menanam tebu dan membuat gula. Beberapa perusahaan swasta Jepang yang menangani pabrik gula adalah Meiji Seito Kaisya.
Masyarakat juga diwajibkan untuk melakukan pekerjaan yang dinilai berguna bagi masyarakat luas, seperti memperbaiki jalan, saluran air, atau menanam pohon jarak. Mereka melakukannya secara bergantian. Untuk menjalankan tugas tersebut dengan baik, maka dibentuklah tonarigumi (rukun tetangga) untuk memobilisasi massa dengan efektif.
Sementara itu, proses komunikasi antarkomponen bangsa di Indonesia mengalami kesulitan baik komunikasi antarpulau maupun komunikasi dengan dunia luar, karena semua saluran komunikasi dikendalikan oleh Jepang. Semua nama-nama kota yang menggunakan bahasa Belanda diganti dengan Bahasa Indonesia, seperti Batavia menjadi Jakarta dan Buitenzorg menjadi Bogor. Sementara itu, untuk mengawasi karya para seniman agar tidak menyimpang dari tujuan Jepang, maka didirikanlah pusat kebudayaan pada tanggal 1 April 1943 di Jakarta, yang bernama Keimun Bunka Shidosho.
c. Pendidikan
Pada masa pendudukan Jepang, keadaan pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Pendidikan tingkat dasar hanya satu, yaitu pendidikan enam tahun. Hal itu sebagai politik Jepang untuk memudahkan pengawasan. Para pelajar wajib mempelajari bahasa Jepang. Mereka juga harus mempelajari adat istiadat Jepang dan lagu kebangsaan Jepang, Kimigayo, serta gerak badan sebelum pelajaran dimulai. Bahasa Indonesia mulai digunakan sebagai bahasa pengantar di semua sekolah dan dianggap sebagai mata pelajaran wajib.
Sementara itu, perguruan tinggi di tutup pada tahun 1943. Beberapa perguruan tinggi yang dibuka lagi adalah Perguruan Tinggi Kedokteran (Ika Daigaku) di Jakarta dan Perguruan Tinggi Teknik (Kogyo Daigaku) di Bandung. Jepang juga membuka Akademi Pamong Praja (Konkoku Gakuin) di Jakarta, serta Perguruan Tinggi Hewan di Bogor. Pada saat itu, perkembangan perguruan tinggi benar-benar mengalami kemunduran.
Satu hal keuntungan pada masa Jepang adalah penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Melalui sekolah-sekolah itulah Jepang melakukan indoktrinasasi. Menurut Jepang, pendidikan kader-kader dibentuk untuk memelopori dan melaksanakan konsepsi kemakmuran Asia Raya. Namun, bagi bangsa Indonesia tugas berat itu merupakan persiapan bagi pemuda-pemuda terpelajar untuk mencapai kemerdekaan.
Para pelajar juga dianjurkan untuk masuk militer. Mereka diajarkan Heiho atau sebagai pembantu prajurit. Pemuda-pemuda juga dianjurkan masuk barisan Seinendan dan Keibodan (pembantu polisi). Mereka dilatih baris berbaris dan perang meskipun hanya bersenjatakan kayu. Dalam Seinendan mereka dijadikan barisan pelopor atau suisintai. Barisan pelopor itu mendapat pelatihan yang berat. Latihan militer itu kelak sangat berguna bagi bangsa kita.
d. Birokrasi dan Militer
Dalam bidang birokrasi, dengan dikeluarkannya UU no. 27 tentang Aturan Pemerintah Daerah dan UU No. 28 tentang Aturan Pemerintah Syu dan Tokubetshu Syi, maka berakhirlah pemerintahan sementara. Kedua aturan itu merupakan pelaksanaan struktur pemerintahan dengan datangnya tenaga sipil dari Jepang di Jawa. Mereka ditempatkan di Jawa untuk melakukan tujuan reorganisasi pemerintahan Jepang, yang menjadikan Jawa sebagai pusat perbekalan perang di wilayah selatan.
Sesuai dengan undang-undang itu, seluruh kota di Jawa dan Madura, kecuali Solo dan Yogyakarta, dibagi atas syu, syi, ken, gun, son, dan ku. Pembentukan provinsi yang dilakukan Belanda diganti dan disesuaikan dengan struktur Jepang, daerah pemerintahan yang tertinggi, yaitu Syu. Meskipun luas wilayah Syu sebesar keresidenan, namun fungsinya berbeda. Apabila residen merupakan pembantu gubernur, maka Syu adalah pemerintah otonomi di bawah shucokan yang berkedudukan sama dengan gubernur. Pada masa pendudukan Jepang juga dibentuk Chou Sangi- in yang fungsinya tidak jauh berbeda dengan Volksraad. Dalam Volksraad masih dapat dilakukan kritik pemerintah dengan bebas. Sementara Chou Sangi In tidak dapat melakukan hal itu.
Perbedaan antara masa penjajahan sebelumnya dengan masa pendudukan Jepang yaitu rakyat Indonesia mendapatkan manfaat pengalaman dan bidang ketentaraan, bidang pertahanan, dan keamanan. Mereka mendapat kesempatan untuk berlatih militer. Mulai dari dasar-dasar militer, baris berbaris, latihan menggunakan senjata, hingga organisasi militer, dan latihan perang. Melalui propagandanya, Jepang berhasil membujuk penduduk untuk menghadapi Sekutu. Oleh karena itulah, mereka melatih penduduk dengan latihan-latihan militer. Bekas pasukan Peta itulah yang menjadi kekuatan inti Badan Keamanan Rakyat (BKR), yang menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan sekarang dikenal dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI).
2. Janji Kemerdekaan
Pada tahun 1944, Jepang terdesak, Angkatan Laut Amerika Serikat berhasilmerebut kedudukan penting Kepulauan Mariana, sehingga jalan menuju Jepang semakin terbuka. Jenderal Hideki Tojo pun kemudian digantikan oleh Jenderal Kuniaki Kaiso sebagai perdana menteri. Angkatan udara Sekutu yang di Morotai pun mulai mengadakan pengeboman atas kedudukan Jepang di Indonesia. Rakyat mulai kehilangan kepercayaannya terhadap Jepang dalam melawan Sekutu.
Sementara itu, Jenderal Kuniaki Kaiso memberikan janji kemerdekaan (September 1944). Sejak itulah Jepang memberikan izin kepada rakyat Indonesia untuk mengibarkan bendera Merah Putih di samping bendera Jepang Hinomaru. Lagu Indonesia Raya boleh dinyanyikan setelah lagu Kimigayo. Sejak itu pula Jepang mulai mengerahkan tenaga rakyat Indonesia untuk pertahanan. Mereka disiapkan untuk menghadapi musuh. Pada saat itu suasana kemerdekaan terasa semakin dekat.
Selanjutnya, Letnan Jenderal Kumakici Harada mengumumkan
dibentuknya Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) pada 1 Maret 1945. Badan itu dibentuk untuk menyelidiki dan
mengumpulkan bahan-bahan penting tentang ekonomi, politik, dan tatanan
pemerintahan sebagai persiapan kemerdekaan Indonesia. Badan itu diketuai oleh
dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat, R.P Suroso sebagai wakil ketua merangkap
kepala Tata Usaha dan seorang Jepang sebagai wakilnya Tata Usaha, yaitu Masuda
Toyohiko dan Mr. R. M. Abdul Gafar Pringgodigdo. Semua anggotanya terdiri dari
60 orang dari tokoh-tokoh Indonesia, ditambah tujuh orang Jepang yang tidak
punya suara.
Sidang BPUPKI dilakukan dua tahap, tahap pertama berlangsung pada 28 Mei 1945 sampai 1 Juni 1945. Sidang pertama tersebut dilakukan di Gedung Chou Shangi In di Jakarta yang sekarang dikenal sebagai Gedung Pancasila. Pada masa penjajahan Belanda gedung ini digunakan sebagai gedung Volksraad. Meskipun badan itu dibentuk oleh pemerintah militer Jepang, jalannya persidangan baik wakil ketua maupun anggota istimewa dari kebangsaan Jepang tidak pernah terlibat dalam pembicaraan persiapan kemerdekaan. Semua hal yang berkaitan dengan masalah-masalah kemerdekaan Indonesia merupakan urusan pemimpin dan anggota dari Indonesia.
Pada pidato sidang BPUPKI, Radjiman menyampaikan pokok persoalan mengenai Dasar Negara Indonesia yang akan dibentuk. Pada sidang tahap kedua yang berlangsung dari tanggal 10-11 Juni 1945, dibahas dan dirumuskan tentang undang-Undang Dasar. Dalam kata pembukaannya Rajiman Wedyodiningrat meminta pandangan kepada para anggota mengenai dasar negara Indonesia. Orang-orang yang membahas mengenai dasar negara adalah Muhammad Yamin, Supomo, dan Sukarno
Dalam sidang pertama, Sukarno mendapat kesempatan berbicara dua kali, yaitu tanggal 31 Mei dan 1 Juni 1945. Namun pada saat itu, seperti apa yang disampaikan oleh Radjiman, selama dua hari berlangsung rapat, belum ada yang menyampaikan pidato tentang dasar negara. Menanggapi hal itu, pada tanggal 1 Juni pukul 11.00 WIB, Sukarno menyampaikan pidato pentingnya dasar negara dan landasan filosofi dari suatu negara merdeka. Pada saat itu, Gedung Chuo Shangi In mendapat penjagaan ketat dari tentara Jepang. Sidang saat itu dinyatakan tertutup, hanya beberapa wartawan dan orang tertentu yang diizinkan masuk. Dalam pidatonya, Sukarno mengusulkan dasar-dasar negara. Pada mulanya Sukarno mengusulkan Panca Dharma. Nama Panca Dharma dianggap tidak tepat, karena Dharma berarti kewajiban, sedangkan yang dimaksudkan adalah dasar. Sukarno kemudian meminta saran pada seorang teman, yang mengerti bahasa, sehingga dinamakan dengan Pancasila. Pancasila, sila artinya azas atau dasar, dan di atas kelima dasar itu didirikan Negara Indonesia, supaya kekal dan abadi.
Pidato Sukarno itu mendapat sambutan sangat meriah, tepukan tangan para peserta, suatu sambutan yang belum pernah terjadi selama persidangan BPUPKI. Para wartawan mencatat sambutan yang diucapkan Sukarno itu dengan cermat. Cindy Adam, penulis buku autobiografi Sukarno, menceritakan bahwa ketika ia diasingkan di Ende, Flores (saat ini menjadi Provinsi Nusa Tenggara Timur) pada tahun 1934-1937, Sukarno sering merenung tentang dasar negara Indonesia Merdeka, di bawah pohon sukun.
Pada kesempatan tersebut Ir. Sukarno juga menjadi pembicara kedua. Ia mengemukakan tentang lima dasar negara. Lima dasar itu adalah (1) Kebangsaan Indonesia, (2) Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan, (3) Mufakat atau Demokrasi, (4) Kesejahteraan Sosial, (5) Ketuhanan Yang Maha Esa. Pidato itu kemudian dikenal dengan Pancasila.
Sementara itu Muh.Yamin dalam pidatonya juga mengemukakan Azas dan Dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia. Menurut Yamin ada lima azas, yaitu ( 1) Peri Kebangsaan, (2) Peri Kemanusian, (3) Peri Ketuhanan, (4) Peri Kerakyatan, dan (5) Kesejahteraan rakyat.
Selanjutnya, sebelum sidang pertama berakhir BPUPKI membentuk panitia kecil yang terdiri dari sembilan orang. Pembentukan panitia sembilan itu bertujuan untuk merumuskan tujuan dan maksud didirikannya Negara Indonesia. Panitia kecil itu terdiri atas, Ir. Sukarno, Muh. Yamin, Mr. Ahmad Subardjo, Mr. A.A Maramis, Abdul Kahar Muzakkar, Wahid Hasyim, H. Agus Salim, dan Abikusno Cokrosuyoso. Panitia kecil itu menghasilkan rumusan yang menggambarkan maksud dan tujuan Indonesia Merdeka. Kemudian disusunlah rumusan bersama dasar negara Indonesia Merdeka yang kita kenal dengan Piagam Jakarta. Di dalam teks Piagam Jakarta itu juga dimuat lima asas yang diharapkan akan menjadi dasar dan landasan filosofi bagi Indonesia Merdeka.
Sidang BPUPKI dilakukan dua tahap, tahap pertama berlangsung pada 28 Mei 1945 sampai 1 Juni 1945. Sidang pertama tersebut dilakukan di Gedung Chou Shangi In di Jakarta yang sekarang dikenal sebagai Gedung Pancasila. Pada masa penjajahan Belanda gedung ini digunakan sebagai gedung Volksraad. Meskipun badan itu dibentuk oleh pemerintah militer Jepang, jalannya persidangan baik wakil ketua maupun anggota istimewa dari kebangsaan Jepang tidak pernah terlibat dalam pembicaraan persiapan kemerdekaan. Semua hal yang berkaitan dengan masalah-masalah kemerdekaan Indonesia merupakan urusan pemimpin dan anggota dari Indonesia.
Pada pidato sidang BPUPKI, Radjiman menyampaikan pokok persoalan mengenai Dasar Negara Indonesia yang akan dibentuk. Pada sidang tahap kedua yang berlangsung dari tanggal 10-11 Juni 1945, dibahas dan dirumuskan tentang undang-Undang Dasar. Dalam kata pembukaannya Rajiman Wedyodiningrat meminta pandangan kepada para anggota mengenai dasar negara Indonesia. Orang-orang yang membahas mengenai dasar negara adalah Muhammad Yamin, Supomo, dan Sukarno
Dalam sidang pertama, Sukarno mendapat kesempatan berbicara dua kali, yaitu tanggal 31 Mei dan 1 Juni 1945. Namun pada saat itu, seperti apa yang disampaikan oleh Radjiman, selama dua hari berlangsung rapat, belum ada yang menyampaikan pidato tentang dasar negara. Menanggapi hal itu, pada tanggal 1 Juni pukul 11.00 WIB, Sukarno menyampaikan pidato pentingnya dasar negara dan landasan filosofi dari suatu negara merdeka. Pada saat itu, Gedung Chuo Shangi In mendapat penjagaan ketat dari tentara Jepang. Sidang saat itu dinyatakan tertutup, hanya beberapa wartawan dan orang tertentu yang diizinkan masuk. Dalam pidatonya, Sukarno mengusulkan dasar-dasar negara. Pada mulanya Sukarno mengusulkan Panca Dharma. Nama Panca Dharma dianggap tidak tepat, karena Dharma berarti kewajiban, sedangkan yang dimaksudkan adalah dasar. Sukarno kemudian meminta saran pada seorang teman, yang mengerti bahasa, sehingga dinamakan dengan Pancasila. Pancasila, sila artinya azas atau dasar, dan di atas kelima dasar itu didirikan Negara Indonesia, supaya kekal dan abadi.
Pidato Sukarno itu mendapat sambutan sangat meriah, tepukan tangan para peserta, suatu sambutan yang belum pernah terjadi selama persidangan BPUPKI. Para wartawan mencatat sambutan yang diucapkan Sukarno itu dengan cermat. Cindy Adam, penulis buku autobiografi Sukarno, menceritakan bahwa ketika ia diasingkan di Ende, Flores (saat ini menjadi Provinsi Nusa Tenggara Timur) pada tahun 1934-1937, Sukarno sering merenung tentang dasar negara Indonesia Merdeka, di bawah pohon sukun.
Pada kesempatan tersebut Ir. Sukarno juga menjadi pembicara kedua. Ia mengemukakan tentang lima dasar negara. Lima dasar itu adalah (1) Kebangsaan Indonesia, (2) Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan, (3) Mufakat atau Demokrasi, (4) Kesejahteraan Sosial, (5) Ketuhanan Yang Maha Esa. Pidato itu kemudian dikenal dengan Pancasila.
Sementara itu Muh.Yamin dalam pidatonya juga mengemukakan Azas dan Dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia. Menurut Yamin ada lima azas, yaitu ( 1) Peri Kebangsaan, (2) Peri Kemanusian, (3) Peri Ketuhanan, (4) Peri Kerakyatan, dan (5) Kesejahteraan rakyat.
Selanjutnya, sebelum sidang pertama berakhir BPUPKI membentuk panitia kecil yang terdiri dari sembilan orang. Pembentukan panitia sembilan itu bertujuan untuk merumuskan tujuan dan maksud didirikannya Negara Indonesia. Panitia kecil itu terdiri atas, Ir. Sukarno, Muh. Yamin, Mr. Ahmad Subardjo, Mr. A.A Maramis, Abdul Kahar Muzakkar, Wahid Hasyim, H. Agus Salim, dan Abikusno Cokrosuyoso. Panitia kecil itu menghasilkan rumusan yang menggambarkan maksud dan tujuan Indonesia Merdeka. Kemudian disusunlah rumusan bersama dasar negara Indonesia Merdeka yang kita kenal dengan Piagam Jakarta. Di dalam teks Piagam Jakarta itu juga dimuat lima asas yang diharapkan akan menjadi dasar dan landasan filosofi bagi Indonesia Merdeka.
PIAGAM JAKARTA
1. Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
2. (menurut) dasar
kemanusian yang adil dan beradab.
3. Persatuan Indonesia.
4. (dan) kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmah dalam permusyawaratan/ perwakilan
5. (serta dengan
mewujudkan suatu ) keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
3. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
BPUPKI kemudian dibubarkan setelah tugas-tugasnya selesai.
Selanjutnya dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 7
Agustus 1945. Badan itu beranggotakan 21 orang, yang terdiri dari 12 orang
wakil dari Jawa, tiga orang wakil dari Sumatra, dan dua orang dari Sulawesi dan
masing-masing satu orang dari Kalimantan, Sunda Kecil, Maluku, dan golongan
penduduk Cina, ditambah enam orang tanpa izin dari pihak Jepang. Panitia inilah
yang kemudian mengesahkan Piagam Jakarta sebagai pendahuluan dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945, 18 Agustus 1945.
KESIMPULAN
1. Kedatangan Jepang yang
dianggap sebagai Saudara Tua pada mulanya disambut dengan penuh harapan. Namun,
perlakuan yang kejam terhadap rakyat Indonesia menimbulkan kebencian rakyat
Indonesia pada Jepang.
2. Dampak pendudukan
Jepang di Indonesia menjadikan rakyat semakin sengsara, serta kehidupan yang
semakin sulit. Semua gerak dikontrol oleh pemerintah Jepang. Selama itu pula,
Jepang menerapkan kebijakan ekonomi berdasarkan azas ekonomi perang, yaitu
menerapkan berbagai peraturan, pembatasan, dan penguasaan produksi oleh negara
untuk kemenangan perang.
3. Mobilisasi massa
menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan, bahkan korban jiwa, yaitu romusa yang
kemudian oleh pemerintah Jepang disebut sebagai prajurit pekerja.
4. Pada masa pendudukan
Jepang, pembentukan organisasi massa dilakukan atas mobilisasi pemerintah
militer Jepang. Meskipun demikian pergerakan terus dilakukan oleh kaum
nasionalis baik secara terang-terangan maupun di bawah tanah.
5. Program militer
pertama Jepang adalah Heiho, yaitu perekrutan serdadu pembantu lapangan, yang
melibatkan pemuda-pemuda Indonesia dalam kegiatan militer. Keikutsertaan dalam
pendidikan militer itu yang kemudian menjadi bekal pemuda-pemuda Indonesia
dalam perang revolusi kemerdekaan.
6. Dasar negara dibentuk
melalui Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia dan disahkan oleh
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.